Persepsi Orangtua Menentukan Masa Depan Anak
Deni kecil berlari-lari menolak makanan yang hendak disuapkan ke mulutnya. Mamanya mengejar di belakangnya sambil berteriak,"Deni ayo makan ini sudah malam lho. Kamu nanti lapar. Mama masih banyak kerjaan yang lain nih!" Dari nadanya bisa tergambar perasaan putus asa dan tak tahu harus berbuat apa. Perasaan jengkel, marah, letih dan tak berdaya tercermin dalam tindakan dan perkataan sang mama. Si Deni dengan acuhnya berlarian kesana kemari.
Tak lama kemudian datanglah Ferry, kakak Deni, yang sudah duduk di bangku SMP. Sambil melemparkan tasnya ke sofa ia menuju lemari es dan meneguk minuman yang ada di sana. Setelah itu ia melepas sepatu dan kaos kakinya dan membiarkannya tergeletak begitu saja di depan lemari es. Lalu menuju ke kamarnya dan berteriak, "Mbak ambilkan makan dong. Lapar nih!"
Jika anda yang menghadapi peristiwa di atas apa yang akan anda lakukan? Apakah anda akan langsung menghardik mereka? Atau apakah anda akan memukul mereka karena sudah tidak tahan lagi dengan tingkah lakunya? Ataukah anda akan langsung memanggilnya dan memarahi mereka? Atau mungkin anda akan bertanya dengan lembut pada mereka apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka dan kemudian membantu mereka mencari solusinya?
Tidak begitu penting apa tindakan anda. Yang paling penting di sini adalah mencari tahu apa penyebab utama anda melakukan tindakan tersebut. Tidak penting apakah anda marah atau menanyainya dengan lembut. Yang penting adalah pemikiran dibalik tindakan tersebut. Inilah yang mengontrol diri anda selama ini. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi tindakan anda mendidik dan mengasuh anak-anak. Kita menyebutnya dengan persepsi.
Darimanakah persepsi timbul? Persepsi timbul dari serangkaian pemikiran-pemikiran yang mengkristal. Pemikiran ini timbul dari beragam pengalaman yang mengesankan. Semua pengalaman kita di masa kecil akan menjadi pijakan dasar. Dari sinilah kita kemudian mengembangkan pemikiran yang lebih kompleks.
Pengalaman bagaimanakah yang akan membentuk pemikiran? Semua pengalaman yang kita alami dalam kehidupan kita. Apa yang kita dengar, apa yang kita lihat dan apa yang kita alami di masa kecil akan mempengaruhi pemikiran kita. Pemikiran awal ini kemudian kita bawa dalam pergaulan remaja dan dewasa. Dan akhirnya menjadikan kita seperti sekarang ini.
Setelah kita mempunyai anak maka kita akan beroperasi dengan pemikiran yang sudah melekat dalam diri kita. Pemikiran inilah yang menjadi dasar setiap tindakan kita. Pemikiran ini menjadi persepsi.
Satu hal yang kebanyakan orang tidak sadari adalah persepsi ini bisa mengunci pemikiran kita. Persepsi ini menjadi koridor pemikiran kita. Ia memerangkap kita di dalamnya. Sebaik-baiknya kemampuan berpikir kita jika persepsi awalnya salah maka tidak akan menemui jawaban yang kita inginkan.
Ambil contoh seorang anak yang sedang disuapi makan berlarian kesana kemari. Jika persepsi awal kita mengatakan bahwa anak ini nakal, makannya rewel, tidak menghargai waktu saya dan berbagai persepsi awal negatif lainnya maka tindakan kita akan negatif juga. Marah misalnya. Atau mengatakan sesuatu yang nadanya jengkel, misal "Ayo cepat! Mama kan masih ada pekerjaan lain bukan urusi kamu saja!", anak merasa dirinya tidak penting, ia merasa dirinya tidak bisa memenuhi harapan orangtuanya, tetapi ia memang tidak ingin makan. Akhirnya anak mengalami konflik diri yang tidak kentara dan harga dirinya menjadi terkontaminasi. Atau "Kalau lari-lari seperti itu Mama tidak akan suapi kamu lagi!". Kenyataannya adalah besok ia disuapi lagi. Orangtua menjadi tidak konsisten di mata anak.
Tetapi jika persepsi awal kita adalah positif misalnya,"Saya harus membantunya mengerti mengapa ia perlu makan sekarang", atau "Ia adalah seorang anak yang perlu dimengerti" maka tindakan berikutnya bagi kita bisa sangat berbeda. Mungkin kita akan menanyainya dengan penuh perhatian mencari sebab mengapa ia berlarian ketika disuapi makan. Akibatnya adalah si anak merasa diperhatikan dan dimengerti. Ia bisa merasa diterima sehingga harga dirinya berkembang sehat.
Dari contoh tersebut jelaslah bahwa persepsi mengarahkan tindakan kita. Dan tindakan kita akhirnya memicu reaksi dari anak. Reaksi dari anak akan memicu pemikiran tertentu. Dan pemikiran ini akan membentuk persepsi anak tentang dirinya sendiri. Akhirnya konsep diri anak terbentuk. Bisakah anda melihat peranan anda sebagai orangtua sangat besar dalam membentuk konsep diri anak anda? Tahukah anda bahwa konsep diri inilah yang akan menentukan masa depannya kelak?
Orangtua, dalam tingkat tertentu yang signifikan, ikut menentukan masa depan dan nasib seorang anak melalui sikap dan tindakan mereka kepada anaknya. Sebagai orangtua kita sangat berkewajiban untuk mengembangkan kontrol diri dan kesadaran yang sangat tinggi melalui upaya pembelajaran terus menerus sehingga kita sanggup memberikan teladan dan contoh terbaik bagi anak-anak kita. Ibarat pohon dan buah, kita orangtua adalah akar yang menentukan kualitas buah seperti apa yang akan kita hasilkan. Jika sebagai akar kita tidak mampu menyerap nutrisi di sekitar kita dan tidak mampu menyalurkannya ke batang pohon maka buah di atas sana tidak akan berkembang dengan baik.
Sebagai orangtua kita perlu mengembangkan diri untuk memperbaiki diri dengan cara mengontrol persepsi kita dan menelitinya kembali asal mula persepsi itu terbentuk dalam diri kita demi masa depan anak-anak kita.
Deni kecil berlari-lari menolak makanan yang hendak disuapkan ke mulutnya. Mamanya mengejar di belakangnya sambil berteriak,"Deni ayo makan ini sudah malam lho. Kamu nanti lapar. Mama masih banyak kerjaan yang lain nih!" Dari nadanya bisa tergambar perasaan putus asa dan tak tahu harus berbuat apa. Perasaan jengkel, marah, letih dan tak berdaya tercermin dalam tindakan dan perkataan sang mama. Si Deni dengan acuhnya berlarian kesana kemari.
Tak lama kemudian datanglah Ferry, kakak Deni, yang sudah duduk di bangku SMP. Sambil melemparkan tasnya ke sofa ia menuju lemari es dan meneguk minuman yang ada di sana. Setelah itu ia melepas sepatu dan kaos kakinya dan membiarkannya tergeletak begitu saja di depan lemari es. Lalu menuju ke kamarnya dan berteriak, "Mbak ambilkan makan dong. Lapar nih!"
Jika anda yang menghadapi peristiwa di atas apa yang akan anda lakukan? Apakah anda akan langsung menghardik mereka? Atau apakah anda akan memukul mereka karena sudah tidak tahan lagi dengan tingkah lakunya? Ataukah anda akan langsung memanggilnya dan memarahi mereka? Atau mungkin anda akan bertanya dengan lembut pada mereka apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka dan kemudian membantu mereka mencari solusinya?
Tidak begitu penting apa tindakan anda. Yang paling penting di sini adalah mencari tahu apa penyebab utama anda melakukan tindakan tersebut. Tidak penting apakah anda marah atau menanyainya dengan lembut. Yang penting adalah pemikiran dibalik tindakan tersebut. Inilah yang mengontrol diri anda selama ini. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi tindakan anda mendidik dan mengasuh anak-anak. Kita menyebutnya dengan persepsi.
Darimanakah persepsi timbul? Persepsi timbul dari serangkaian pemikiran-pemikiran yang mengkristal. Pemikiran ini timbul dari beragam pengalaman yang mengesankan. Semua pengalaman kita di masa kecil akan menjadi pijakan dasar. Dari sinilah kita kemudian mengembangkan pemikiran yang lebih kompleks.
Pengalaman bagaimanakah yang akan membentuk pemikiran? Semua pengalaman yang kita alami dalam kehidupan kita. Apa yang kita dengar, apa yang kita lihat dan apa yang kita alami di masa kecil akan mempengaruhi pemikiran kita. Pemikiran awal ini kemudian kita bawa dalam pergaulan remaja dan dewasa. Dan akhirnya menjadikan kita seperti sekarang ini.
Setelah kita mempunyai anak maka kita akan beroperasi dengan pemikiran yang sudah melekat dalam diri kita. Pemikiran inilah yang menjadi dasar setiap tindakan kita. Pemikiran ini menjadi persepsi.
Satu hal yang kebanyakan orang tidak sadari adalah persepsi ini bisa mengunci pemikiran kita. Persepsi ini menjadi koridor pemikiran kita. Ia memerangkap kita di dalamnya. Sebaik-baiknya kemampuan berpikir kita jika persepsi awalnya salah maka tidak akan menemui jawaban yang kita inginkan.
Ambil contoh seorang anak yang sedang disuapi makan berlarian kesana kemari. Jika persepsi awal kita mengatakan bahwa anak ini nakal, makannya rewel, tidak menghargai waktu saya dan berbagai persepsi awal negatif lainnya maka tindakan kita akan negatif juga. Marah misalnya. Atau mengatakan sesuatu yang nadanya jengkel, misal "Ayo cepat! Mama kan masih ada pekerjaan lain bukan urusi kamu saja!", anak merasa dirinya tidak penting, ia merasa dirinya tidak bisa memenuhi harapan orangtuanya, tetapi ia memang tidak ingin makan. Akhirnya anak mengalami konflik diri yang tidak kentara dan harga dirinya menjadi terkontaminasi. Atau "Kalau lari-lari seperti itu Mama tidak akan suapi kamu lagi!". Kenyataannya adalah besok ia disuapi lagi. Orangtua menjadi tidak konsisten di mata anak.
Tetapi jika persepsi awal kita adalah positif misalnya,"Saya harus membantunya mengerti mengapa ia perlu makan sekarang", atau "Ia adalah seorang anak yang perlu dimengerti" maka tindakan berikutnya bagi kita bisa sangat berbeda. Mungkin kita akan menanyainya dengan penuh perhatian mencari sebab mengapa ia berlarian ketika disuapi makan. Akibatnya adalah si anak merasa diperhatikan dan dimengerti. Ia bisa merasa diterima sehingga harga dirinya berkembang sehat.
Dari contoh tersebut jelaslah bahwa persepsi mengarahkan tindakan kita. Dan tindakan kita akhirnya memicu reaksi dari anak. Reaksi dari anak akan memicu pemikiran tertentu. Dan pemikiran ini akan membentuk persepsi anak tentang dirinya sendiri. Akhirnya konsep diri anak terbentuk. Bisakah anda melihat peranan anda sebagai orangtua sangat besar dalam membentuk konsep diri anak anda? Tahukah anda bahwa konsep diri inilah yang akan menentukan masa depannya kelak?
Orangtua, dalam tingkat tertentu yang signifikan, ikut menentukan masa depan dan nasib seorang anak melalui sikap dan tindakan mereka kepada anaknya. Sebagai orangtua kita sangat berkewajiban untuk mengembangkan kontrol diri dan kesadaran yang sangat tinggi melalui upaya pembelajaran terus menerus sehingga kita sanggup memberikan teladan dan contoh terbaik bagi anak-anak kita. Ibarat pohon dan buah, kita orangtua adalah akar yang menentukan kualitas buah seperti apa yang akan kita hasilkan. Jika sebagai akar kita tidak mampu menyerap nutrisi di sekitar kita dan tidak mampu menyalurkannya ke batang pohon maka buah di atas sana tidak akan berkembang dengan baik.
Sebagai orangtua kita perlu mengembangkan diri untuk memperbaiki diri dengan cara mengontrol persepsi kita dan menelitinya kembali asal mula persepsi itu terbentuk dalam diri kita demi masa depan anak-anak kita.
http://www.ariesandi.com/
0 komentar:
Posting Komentar