Minggu, 25 Desember 2011

kopiko dengan espresso


KOPIKO Vs ESPRESSO

Latar belakang
            Seiring dengan perkembangan zaman semakin komplek kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh tiap – tiap individu manusia. Tak pelak menimbulkan begitu banyak kemungkinan permintaan yang membutuhkan penawaran untuk dipenuhi. Sehingga para produsen pun saling berlomba untuk memenuhi permintaan pasar.
            Begitu banyak cara promosi yang dilakukan oleh produsen  untuk memikat perhatian konsumen agar mau membeli produknya. Baik promosi itu  berupa iklan di media elektronik maupunn iklan media cetak. Kreatifitas dalam penyuguhannya dibutuhkan agar memberi kesan kepada yang meilhatnya.  Namun krestifitas itu kuranng mengindahan aspek etika, yang nantinya justru bias menjadikan boomerang bagi pemilik produk yang bersangkutan.
            Dalam pembahasan selanjutnya kami akan memaparkan persaingan produk 2 merk permen kopi yaitu “espresso” dengan “kopiko” dalam periklanannya melalui tinjauan etika.

Rumusan masalah
            Kopiko adalah merk permen kopi yang sudah memiliki pangsa pasar yang besar di Indonesia, dengan positioning sebagai permen kopi yang lebih berasa kopi. Sedangkan espresso adalah brand pendatang baru dalam kelas permen kopi yang ingin “memakan” pasar dari kopiko.
            Cara espresso dalam memasarkan produk permen kopinya terlihat “menjatuhkan” nama dari kopiko. Hal itu dapat dilihat dari 2 iklan komersial TV dari esspreso yang menyudutkan kopiko.  Yang menjadi pokok permasalahan adalah etiskah menyudutkan suatu pihak dalam penyampaian suatu pesan.

Tujuan
            Memberikan informasi  kepada pembaca sekaligus konsumen agar mampu menyikapi iklan – iklan yang kurang mendidik . Serta saran kepada produsen untuk melakukan tindakan yang lebih sportif  dan edukatif dalam rangka kegiatan promosinya

 
Pembahasan
            Sebagaimana yang kita ketahui etika dalam budaya timur merupakan hal – hal yang harus diperhatikan dalam interaksi social.  namun realitas yang terjadi sekarang, etika suda tidak lagi digunakan. Setiap perilaku individu sudah berperilaku bebas. Dampaknya adalah banyak kepentingan – kepentingan pihak lain yang dirugikan  
Fenomena tersebut tidak hanya terjadi dalam dunia social saja. Dalam dunia bisnis  ketatnya persaingan menimbulkan budaya kompetisi yang kurang sehat. Idealnya, kompetisi antara perusahaan dengan perusahaan lainnya dilakukan secara sportif dengan mengunggulkan kompetensi dari produk – produk yang dihasilkan. Bukan persaingan yang bersifat menjatuhkan.
Dalam tinjauan etika bisnis, didalamnya yang ingin diraih adalah kepercayaan. Sebab didalam bisnis terjadi interaksi dari komponen intern serta ekstern perusahaan. Bila upaya membangun kepercayaan diraih dengan cara tidak elegan, akibatnya adalah reputasi atau nama baik yang dijadikan pertaruhannya. Konsekuensi atas tindakan yang dilakukan bisa menjadi blunder bagi perusahaan.
Didalam etika periklanan, terdapat sejumlah tata etika yang harus diperhatikan. Antara lain dramatisasi kualitas produk yang berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta kualitas produk yang ada sehingga kemudian dianggap menipu konsumen. larangan untuk menyerang brand competitor secara terang-terangan dalam iklan, karena dianggap bisa mematikan daya saing pihak lain.  Serta Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Upaya espresso dalam merebut pangsa pasar kopiko dengan melakukan combative advertising atau iklan yang bersifat menyerang. Competitor. Dengan maksud menanamkan bahwa produknya memiliki keunggulan isi dibandingkan dengan produk kopiko.



terlihat jelas bagaimana espresso menampilkan secara gamblang pernyataan Menyebut permen kopi ko –song yang menbuat orang jadi kopong atau bengong dalam iklan elektroniknya  dan memperlihatkan espresso adalah permen kopi dengan isi terlihat lebih fresh. hal ini merupakan upaya menjatuhkan brand kopiko di mata pelanggannya. menurut tinjauan etika periklanan, pernyataan yang dilontarkan espreso terhadap kopiko sudah melanggar azas etika yang  sudah disepakati.

Kesimpulan dan saran 
        iklan  merupakan salah satu kegiatan promosi yang tidak bisa ditinggalkan oleh produsen dalam memasarkan produknya. akan tetapi hendaknya dalam melakukan kegiatan tersebut aspek etika perlu menjadi pertimbangan. contoh dari iklan yang dilakukan oleh espresso merupakan tindakan yang melanggar kode etik yang sudah ditetapkan.
          iklan hendaknya lebih menitik beratkan pada sisi edukatifnya tapi tidak melupakan sisi komersialnya. sehingga masyarakat sebagai penikmat iklan  dapat terdidik dengan informasi yang diberikan. bagaimanakah jadinya bila dalam iklan, propaganda yang dilakukan oleh produsen saja sudah melanggar etika - etika yang berlaku
          masyarakat sebagai konsumen hendaknya juga harus lebih kritis dalam menyikapi ikaln yang berbau pelanggaran etika. dengan begitu konsumen bisa lebih obyektif dalam menilai suatu produk. iklan yang berlebihan pun belum tentu memberikan jaminan kualitas yang lebih baik.
Read More ..

pelanggaran reklame jalan

Latar  belakang
Reklame merupakan sarana media informasi yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan kepada pihak lain. reklame digunakan dalam rangka mempromosikan suatu produk kepada konsumen. Baik disampaikan secara lisan ,visual, ataupun kombinasi antara keduanya. Tujuannya sederhana, agar  orang mengetahui produk yang direklamekan. 
reklame sangat berkaitan dengan etika yang melingkupinya.  Oleh karenanya dalam menetapkan baik itu konten, materi reklame serta hal – hal yang berkaitan dalam penyelengaraan reklame perlu memperhatikan nilai – nilai etika .
namun seringkali nilai – nilai etika tersebut tidak diindahkan. Begitu banyak pelanggaran terhadap aturan – aturan yang sudah ditetapkan terlihat jelas namun tindakan dari pihak terkait masih terlihat belum dilakukan secara menyeluruh.
rumusan masalah

reklame cetak berupa pamphlet, poster, brosur  seringkali dipasang ditempat yang tidak seharusnya. Kebanyakan penempatan reklame  pada fasilitas – fasilitas umum, tiang listrik maupun rumah – rumah tanpa melalui perijinan yang jelas.Pada akhirnya yang dirugikan adalah pihak diluar pelaku pemasangan reklame.

Tujuan

Meningkatkan kesadaran untuk melakukan aktifitas pemasangan reklame dengan memperhatikan norma – norma dan aturan – aturan yang berlaku agar tercipta keindahan kota serta lingkungan yang lebih tertata .

Pembahasan 




Foto – foto diatas merupakan realita yang terjadi di masyarakat. Entah sudah disadari atau belum oleh pemasangnya, bahwasannya pemasangan reklame seperti itu sudah melanggar peraturan daerah yang  berlaku. Pemasangan  reklame secara liar ini sebenarnya merugikan banyak banyak pihak baik itu warga sekitar sebab mengurangi estetika dari suatu kawasan serta pemerintah kota Surabaya, dimana reklame liar tersebut tak berijin dan tidak menyetorkan pajak reklame atas pemasangannya ditempat – tempat terbuka.
Mengacu pada perda no 8 tahun 2006 kota Surabaya, menyebutkan :
BAB III
PENYELENGGARAAN REKLAME
Pasal 12
Penyelenggaraan Reklame harus sesuai dengan kepribadian dan
budaya bangsa, tidak boleh bertentangan dengan norma keagamaan,
kesopanan, ketertiban, keamanan, kesusilaan dan kesehatan.

Pasal 13
(1) Untuk menunjang estetika kota, keamanan dan keselamatan
masyarakat serta untuk mengatur reklame dalam suatu komposisi
yang baik sehingga lebih efektif dalam menyampaikan pesan,
penyelenggaraan reklame di kawasan tertentu diatur dalam
ketentuan mengenai Kawasan Penataan Reklame.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan penataan reklame dan
penyelenggaraan reklame pada kawasan penataan reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Kepala Daerah.

Pasal 15
(1) Penyelenggara Reklame wajib :
a. memasang plat izin atau stempel masa berlaku izin dan ukuran
bidang reklame yang dapat terlihat jelas oleh umum;
b. memasang nama dan nomor telepon biro reklame yang dapat
terlihat dengan jelas oleh umum, bagi reklame terbatas;
c. memelihara benda-benda dan alat-alat yang dipergunakan
untuk reklame agar selalu dapat berfungsi dan dalam kondisibaik;
d. menyelesaikan pembongkaran reklame paling lambat dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah izin berakhir;
e. menanggung segala akibat jika penyelenggaraan reklame yang
bersangkutan menimbulkan kerugian pada pihak lain;
f. membayar Biaya Jaminan Bongkar.
Pasal 24
Penyelenggaraan reklame insidentil jenis Melekat tidak diperbolehkan
ditempelkan pada rambu lalu lintas, tiang listrik, tiang Penerangan
Jalan Umum (PJU), tiang telepon atau sarana dan prasarana kota
lainnya.

Pelanggaran yang dilakukan seringkali berupa pelanggaran ketertiban, perusakan keindahan kota, pemasangan tak berijin, penyalahgunaan fasilitas umum, serta masa berlaku reklame yang sudah habis namun belum juga dibongkar.  
 

Pemasangan reklame ini jika dilihat dari sudut kepentingan pelaku usaha, merupakan usaha mengurangi biaya iklan. Sebab tak dipungkiri biaya iklan bisa melampaui biaya produksi suatu produk itu sendiri.
Kebanyakan pelaku – pelaku pemasangan iklan liar ini umumnya dari produk rokok, pelayanan jasa, event insidentil. Kesadaran untuk berperilaku taat aturan  adalah masalah yang subtansi di dalam masyarakat Indonesia. Ketidaktaatan terhadap aturan bisa dikatakan merupakan bagia tingkah laku dari manusia Indonesia. Sanksi yang berlaku tidak membuat para pelaku jera akan perbuatan yang dilakukan, atau bisa jadi karena penindakan dari pihak terkait terkesan setengah – setengah sehingga tidak menimbulkan tekanan yang berarti .



Read More ..

The Corporate Psychopaths Theory of the Global Financial Crisis

The Corporate Psychopaths Theory
of the Global Financial Crisis
Clive R. Boddy
ABSTRACT. This short theoretical paper elucidates a
plausible theory about the Global Financial Crisis and the
role of senior financial corporate directors in that crisis.
The paper presents a theory of the Global Financial Crisis
which argues that psychopaths working in corporations
and in financial corporations, in particular, have had a
major part in causing the crisis. This paper is thus a very
short theoretical paper but is one that may be very
important to the future of capitalism because it discusses
significant ways in which Corporate Psychopaths may
have acted recently, to the detriment of many. Further
research into this theory is called for.
KEY WORDS: Corporate Psychopaths, The Global Financial
Crisis, leadership, corporate management
Introduction
The Global Financial Crisis has raised many ethical
issues concerning who pays for the damage inflicted
and who is responsible for causing the crisis. Commentators
on business ethics have noted that corporate
financial scandals have assumed epidemic
proportions and that once great companies of
longstanding history and with previously unblemished
and even dignified reputations have been
brought down by the misdeeds of a few of their
leaders. These commentators raise the fascinating
question of how these resourceful and historic
organizations end up with impostors as leaders in the
first place (Singh, 2008). One writer on leadership
even goes as far as to say that modern society is
suffering from a epidemic of poor leadership in both
the private and the public sectors of the economy
(Allio, 2007).
An understanding of Corporate Psychopaths as
expressed in a recent series of papers in this journal
and in others, and based on empirical research, has
helped to answer the question of how organizations
end up with impostors as leaders and how those
organizations are then destroyed from within
(Boddy, 2005, 2010a, Boddy et al., 2010a, b).
The event of the Global Financial Crisis has
hastened an already changing climate in business
research. Commentators are no longer willing to
assume that all managers are working selflessly and
entirely for the benefit of the organization that
employees them, and the study of dark, dysfunctional,
or bad leadership has emerged as a theme in
management research (Allio, 2007; Batra, 2007;
Boddy, 2006; Clements and Washbrush, 1999). The
onset of the Global Financial Crisis has thus led
management researchers to be increasingly interested
in researching various aspects of dark leadership in an
attempt to explain the current financial and organizational
turmoil around the world. Numerous papers
on dark leadership have, for example, been recently
reviewed by this author for this journal and it is
evident that there are commentators with a deep
knowledge of individual types of dark and dysfunctional
leadership and with views on how these
people have contributed to the current crisis. Corporate
Psychopaths are one such type of dark manager,
and this paper investigates their possible
influence on the companies involved in the Global
Financial Crisis. This is important because when
large financial corporations are destroyed by the
actions of their senior directors, employees loose
their jobs and sometimes their livelihoods, shareholders
lose their investments and sometimes their
life savings and societies lose key parts of their economic
infrastructure. Capitalism also loses some of
its credibility.
These corporate collapses have gathered pace in
recent years, especially in the western world, and
have culminated in the Global Financial Crisis that
Journal of Business Ethics (2011) 102:255–259 Springer 2011
DOI 10.1007/s10551-011-0810-4
we are now in. In watching these events unfold it
often appears that the senior directors involved walk
away with a clean conscience and huge amounts of
money. Further, they seem to be unaffected by the
corporate collapses they have created. They present
themselves as glibly unbothered by the chaos around
them, unconcerned about those who have lost their
jobs, savings, and investments, and as lacking any
regrets about what they have done. They cheerfully
lie about their involvement in events are very persuasive
in blaming others for what has happened and
have no doubts about their own continued worth
and value. They are happy to walk away from the
economic disaster that they have managed to bring
about, with huge payoffs and with new roles advising
governments how to prevent such economic
disasters.
Many of these people display several of the
characteristics of psychopaths and some of them are
undoubtedly true psychopaths. Psychopaths are the
1% of people who have no conscience or empathy
and who do not care for anyone other than themselves.
Some psychopaths are violent and end up in
jail, others forge careers in corporations. The latter
group who forge successful corporate careers is
called Corporate Psychopaths. Who psychopaths are
and who Corporate Psychopaths are, is discussed
further below.
Psychopaths
Psychopaths are people who, perhaps due to physical
factors to do with abnormal brain connectivity and
chemistry, especially in the areas of the amygdala and
orbital/ventrolateral frontal cortex (Blair et al., 2005,
2006; Kiehl et al., 2001, 2004, 2006) lack a conscience,
have few emotions and display an inability
to have any feelings, sympathy or empathy for other
people. The area of the brain known as the amygdala
has been described as the seat of emotion and fear
and is reported to be important in processing socially
relevant information and it is therefore theorized
that disruption of its functions could lead to cold
and socially inappropriate behaviour (Wernke and
Huss, 2008). This abnormal brain connectivity and
chemistry of psychopaths makes them extraordinarily
cold, much more calculating and ruthless
towards others than most people are and therefore a
menace to the companies they work for and to
society (Brinkley et al., 2004; Viding, 2004).
Corporate Psychopaths
The concept of the Corporate Psychopaths marries
the terms ‘psychopath’ from the psychological literature
with the term ‘corporate’ from the area of
business to denote a psychopath who works and
operates in the organisational area (Boddy, 2005).
These people have also been called Executive Psychopaths,
Industrial Psychopaths, Organisational
Psychopaths, and Organisational Sociopaths by other
researchers in this emerging area of research (Pech
and Slade, 2007). They ruthlessly manipulate others,
without conscience, to further their own aims and
objectives (Babiak and Hare, 2006).
Although they may look smooth, charming,
sophisticated, and successful, Corporate Psychopaths
should theoretically be almost wholly destructive to
the organizations that they work for. The probable
mal-effects of the presence of psychopaths in the
workplace have been hypothesized about in recent
times by a number of leading experts and commentators
on psychopathy (Babiak, 1995; Babiak
and Hare, 2006; Boddy, 2005, 2006; Clarke, 2005;
Hare, 1994, 1999).
Researchers report that such malevolent leaders
are callously disregarding of the needs and wishes of
others, prepared to lie, bully and cheat and to disregard
or cause harm to the welfare of others (Perkel,
2005). Corporate Psychopaths are also poorly organized
managers who adversely affect productivity
and have a negative impact on many different areas
of organizational effectiveness (Boddy, 2010b).
The theory
Professor Robert Hare, the world’s leading expert
on psychopathy, has said that if he didn’t look for
psychopaths to study in prisons he would look for
them in stock exchanges. Recent newspaper headlines
such as ‘Wall Street Shows No Remorse’ do
nothing to suggest that his viewpoint is incorrect.
Hare has repeatedly drawn attention to the possible
damage that Corporate Psychopaths could cause in
major financial and other organizations. Some of this
256 Clive R. Boddy
damage has been illuminated by the research presented
in a number of recent papers while other
damage is merely hypothesised about.
Psychologists have argued that Corporate Psychopaths
within organizations may be singled out for
rapid promotion because of their polish, charm, and
cool decisiveness. Expert commentators on the rise
of Corporate Psychopaths within modern corporations
have also hypothesized that they are more
likely to be found at the top of current organisations
than at the bottom. Further, that if this is the case,
then this phenomenon will have dire consequences
for the organisations concerned and for the societies
in which those organisations are based. Since this
prediction of dire consequences was made the
Global Financial Crisis has come about. Research by
Babiak and Hare in the USA, Board and Fritzon in
the UK and in Australia has shown that psychopaths
are indeed to be found at greater levels of incidence
at senior levels of organisations than they are at
junior levels (Boddy et al., 2010a). There is also
some evidence that they may tend to join some types
of organisations rather than others and that, for
example, large financial organisations may be
attractive to them because of the potential rewards
on offer in these organizations (Boddy, 2010a).
These Corporate Psychopaths are charming individuals
who have been able to enter modern corporations
and other organisations and rise quickly
and relatively unnoticed within them because of the
relatively chaotic nature of the modern corporation.
This corporate nature is characterized by rapid
change, constant renewal and quite a rapid turnover
of key personnel. These changing conditions make
Corporate Psychopaths hard to spot because constant
movement makes their behaviour invisible and
combined with their extroverted personal charisma
and charm, this makes them appear normal and even
to be ideal leaders.
The knowledge that Corporate Psychopaths are
to be found at the top of organisations and seem to
favour working with other people’s money in large
financial organisations has in turn, led to the development
of the Corporate Psychopaths Theory of the
Global Financial Crisis. The Corporate Psychopaths
Theory of the Global Financial Crisis is that Corporate
Psychopaths, rising to key senior positions
within modern financial corporations, where they
are able to influence the moral climate of the whole
organisation and yield considerable power, have
largely caused the crisis. In these senior corporate
positions, the Corporate Psychopath’s single-minded
pursuit of their own self-enrichment and selfaggrandizement
to the exclusion of all other considerations
has led to an abandonment of the old
fashioned concept of noblesse oblige, equality, fairness,
or of any real notion of corporate social
responsibility.
The Corporate Psychopaths Theory of the Global
Financial Crisis is that changes in the way people are
employed have facilitated the rise of Corporate
Psychopaths to senior positions and their personal
greed in those positions has created the crisis. Prior
to the last third of the twentieth century large corporations
were relatively stable, slow to change and
the idea of a job for life was evident, with employees
gradually rising through the corporate ranks until a
position was reached beyond which they were not
qualified by education, intellect or ability to go.
In such a stable, slowly changing environment
employees would get to know each other very well
and Corporate Psychopaths would be noticeable and
identifiable as undesirable managers because of their
selfish egotistical personalities and other ethical
defects.
Changing companies’ mid-career was seen as
being questionable and inadvisable and their rise
would therefore be blocked both within their original
employer and among external employers who
would question their reasons for wanting to change
jobs.
However, once corporate takeovers and mergers
started to become commonplace and the resultant
corporate changes started to accelerate, exacerbated
by both globalisation and a rapidly changing technological
environment, then corporate stability began
to disintegrate. Jobs for life disappeared and
not surprisingly employees’ commitment to their
employers also lessened accordingly. Job switching
first became acceptable and then even became
common and employees increasingly found themselves
working for unfamiliar organisations and with
other people that they did not really know very well.
Rapid movements in key personnel between corporations
compared to the relatively slower movements
in organisational productivity and success
made it increasingly difficult to identify corporate
success with any particular manager. Failures were
The Corporate Psychopaths Theory of the Global Financial Crisis 257
not noticed until too late and the offending managers
had already moved on to better positions
elsewhere. Successes could equally be claimed by
those who had nothing to do with them. Success
could thus be claimed by those with the loudest
voice, the most influence and the best political skills.
Corporate Psychopaths have these skills in abundance
and use them with ruthless and calculated
efficiency.
In this way, the whole corporate and employment
environment changed from one that would hold the
Corporate Psychopath in check to one where they
could flourish and advance relatively unopposed.
As evidence of this, senior level remuneration and
reward started to increase more and more rapidly
and beyond all proportion to shop floor incomes and
a culture of greed unfettered by conscience developed.
Corporate Psychopaths are ideally situated to
prey on such an environment and corporate fraud,
financial misrepresentation, greed and misbehaviour
went through the roof, bringing down huge companies
and culminating in the Global Financial Crisis
that we are now in.
Writing in 2005, this author commentating on
Corporate Psychopaths predicted that the rise of
Corporate Psychopaths was a recipe for corporate
and societal disaster. This disaster has now happened
and is still happening. Across the western world the
symptoms of the financial crisis are now being
treated. However, if the Corporate Psychopaths
Theory of the Global Financial Crisis is correct, then
this treatment of the symptoms will have little effect
because the root cause is not being addressed. The
very same Corporate Psychopaths, who probably
caused the crisis by their self-seeking greed and
avarice, are now advising governments on how to
get out of the crisis. That this involves paying
themselves vast bonuses in the midst of financial
hardship for many millions of others, is symptomatic
of the problem. Further, if the Corporate Psychopaths
Theory of the Global Financial Crisis is correct
then we are now far from the end of the crisis. Indeed,
it is only the end of the beginning. Perhaps
more than ever before, the world needs corporate
leaders with a conscience. It does not need Corporate
Psychopaths. Measures exist to identify Corporate
Psychopaths. Perhaps it is time to use them.
Conclusions
When presented to management academics in discussion,
the Corporate Psychopaths Theory of the
Global Financial Crisis is accepted as being plausible
and highly relevant. It provides a theory which
unifies many of the individual interpretations of the
reasons for the Global Financial Crisis and as such is
worthy of further development. The message that
psychopaths are to be found in corporations and
other organisations may be important for the future
longevity of capitalism and for corporate and social
justice and even for world financial stability and
longevity. Stemming from this belief that the message
concerning psychopaths in corporations is
important, an aim of this paper has been to get the
work that psychologists have been doing on psychopathy,
and on ‘successful psychopaths’ and
Corporate Psychopaths in particular more widely
known to management researchers and to managers
themselves. In particular the paper presents a theory
concerning the Global Financial Crisis which may
throw considerable light on its origins.
Implications for further research
The Corporate Psychopaths Theory of the Global
Financial Crisis is a theory that would benefit from
further development and research. This research
could be into the personalities and moral reasoning
aptitudes of the leaders of the financial institutions
that are most associated with the Global Financial
Crisis. Simultaneous research into the brain chemistry
and connectivity of these people may prove to
be highly enlightening in helping to establish the
nature and extent of their psychopathy.
References
Allio, R. J.: 2007, ‘Bad Leaders; How They Get That
Way and What to Do About Them’, Strategy and
Leadership 35(3), 12–17.
Babiak, P.: 1995, ‘When Psychopaths Go to Work: A
Case Study of an Industrial Psychopath’, Applied Psychology
44(2), 171–188.
258 Clive R. Boddy
Babiak, P. and R. D. Hare: 2006, Snakes in Suits When
Psychopaths Go to Work, 1st Edition (HarperCollins,
New York).
Batra, M. M.: 2007, ‘The Dark Side of International
Business’, Competition Forum 5(1), 306–314.
Blair, R. J. R., S. Budhani, E. Colledge and S. Scott:
2005, ‘Deafness to Fear in Boys with Psychopathic
Tendencies’, Journal of Child Psychology and Psychiatry
46(3), 327–336.
Blair, R. J. R., K. S. Peschardt, S. Budhani, D. G. V.
Mitchell and D. S. Pine: 2006, ‘The Development of
Psychopathy’, Journal of Abnormal Child Psychology
47(3/4), 262–275.
Boddy, C. R.: 2005, ‘The Implications of Corporate
Psychopaths for Business and Society: An Initial
Examination and a Call to Arms’, Australasian Journal of
Business and Behavioural Sciences 1(2), 30–40.
Boddy, C. R.: 2006, ‘The Dark Side of Management
Decisions: Organisational Psychopaths’, Management
Decision 44(9/10), 1461–1475.
Boddy, C. R.: 2010a, ‘Corporate Psychopaths and
Organisational Type’, Journal of Public Affairs 10(4),
300–312.
Boddy, C. R.: 2010b, ‘Corporate Psychopaths and Productivity’,
Management Services Spring, 26–30.
Boddy, C. R., P. G. Galvin and R. Ladyshewsky: 2010a,
‘Leaders Without Ethics in Global Business: Corporate
Psychopaths’, Journal of Public Affairs 10(3), 121–138.
Boddy, C. R., R. Ladyshewsky and P. G. Galvin: 2010b,
‘The Influence of Corporate Psychopaths on Corporate
Social Responsibility and Organizational Commitment
to Employees’, Journal of Business Ethics 97(1),
1–19.
Brinkley, C. A., J. P. Newman, T. A. Widiger and D. R.
Lynam: 2004, ‘Two Approaches to Parsing the Heterogeneity
of Psychopathy’, Clinical Psychology: Science
and Practice 11, 69–94.
Clarke, J.: 2005, Working with Monsters. How to Identify and
Protect Yourself from the Workplace Psychopath (Random
House, Sydney).
Clements, C. and J. B. Washbrush: 1999, ‘The
Two Faces of Leadership: Considering the Dark Side
of Leader-Follower Dynamics’, Journal of Workplace
Learning 11(5), 170–176.
Hare, R.: 1994, ‘Predators: The Disturbing World of the
Psychopaths Among Us’, Psychology Today 27(1), 54–
61.
Hare, R.: 1999, Without Conscience: The Disturbing Word of
the Psychopaths Among Us (Guildford Press, New
York).
Kiehl, K. A., K. R. Laurens, A. T. Bates, R. D. Hare and
P. F. Liddle: 2006, ‘Brain Potentials Implicate Temporal
Lobe Abnormalities in Criminal Psychopaths’,
Journal of Abnormal Psychology 115(3), 443–453.
Kiehl, K. A., A. M. Smith, A. Mendrek, B. B. Forster, R.
D. Hare and P. F. Liddle: 2004, ‘Temporal Lobe
Abnormalities in Semantic Processing by Criminal
Psychopaths as Revealed by Functioning Magnetic
Resonance Imaging’, Psychiatry Research Neuroimaging
130(3), 297–312.
Kiehl, K. A., A. M. Smith, A. Mendrek, B. B. Forster, R.
D. Hare, P. F. Liddle and J. Brink: 2001, ‘Limbic
Abnormalities in Affective Processing by Criminal
Psychopaths as Revealed by Functional Magnetic
Resonance Imaging’, Biological Psychiatry 50, 677–684.
Pech, R. J. and B. W. Slade: 2007, ‘Organisational Sociopaths:
Rarely Challenged, Often Promoted. Why?’,
Society and Business Review 2(3), 254–269.
Perkel, S. E.: 2005, ‘Book Review: Bad Leadership: What
It Is, How It Happens, Why It Matters’, in
B. Kellerman (ed.), Consulting to Management 16, 59–61.
Singh, J.: 2008, ‘Impostors Masquerading as Leaders: Can
the Contagion be Contained?’, Journal of Business Ethics
82(3), 733–745.
Viding, E.: 2004, ‘Annotation: Understanding the
Development of Psychopathy’, Journal of Child Psychology
and Psychiatry 45(8), 1329–1337.
Wernke, M. R. and M. T. Huss: 2008, ‘An Alternative
Explanation for Cross-Cultural Differences in the
Expression of Psychopathy’, Aggression and Violent
Behavior 13, 229–236.
Marketing,
Nottingham Trent University,
Room 621, 6th Floor,
Nottingham Business School, Burton Street,
Nottingham NG1 4BU, U.K.
E-mail: crpboddy@gmail.com
The Corporate Psychopaths Theory of the Global Financial Crisis 259
Read More ..

teori psikopat perusahaan dari krisis keuangan global


 teori psikopat perusahaan dari krisis keuangan global
oleh Clive R. Boddy
Abstrak:
Karya tulis singkat ini memeparkan teori yang masuk akal tentang krisis keuangan global dan peran peran dari direktur keuangan senior saat krisis. Makalah ini menyajikan teori krisis keuangan global yang berpendapat bahwa psikopat yang sedang bekerja di perusahaan – perusahaan dan perusahaan keuangan . khususnya yang memiliki bagian utama yang menyebabkan krisis. Makalah pendek ini mungkin sangat penting untuk masadepan daripada kapitalisme yang mendiskusikan cara - cara yang signifikan yang mana perusahaan psikopat mungkin telajh bertindak baru – baru ini  yang merugikan banyak  orang.

Pengantar :
Krisis Keuangan Global telah menimbulkan banyak isu-isu  etika tentang siapa yang membayar atas kerusakan yang ditimbulkan dan siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis. Komentar pada etika bisnis telah mencatat bahwa skandal keuangan perusahaan telah diasumsikan epidemic dengan proporsi dan bahwa perusahaan yang sejarah besar terdahulu dengan reputasi tanpa cacat dan sebelumnya bermartabat, dibawa turun oleh kelakuan buruk dari beberapa pemimpinnya.

Krisis keuangan global cepat merubah iklim dalam riset bisnis. Pembicara tidak lagi bersedia untuk berasumsi bahwa semua manajer bekerja tanpa pamrih dan sepenuhnya untuk keuntungan bagi perusahaan yang mempekerjakannya dan studi atas kepemimpinan yang gelap, disfungsional, atau buruk  telaj muncul sebagai tema dalam riset manajemen. Terjadinya krisis keuangan Global telah menyebabkan peneliti manajemen menjadi semakin tertarik meneliti berbagai aspek kepemimpinan gelap, dalam upaya untuk menjelaskan kekacauan keuangan dan organisasi yang saat ini terjadi di seluruh dunia. Perusahaan psikopat adalah satu jenis seperti manajemen yang gelap, dan makalah ini menyelidiki pengaruh mereka mungkin pada perusahaan – perusahaan  yang terlibat dalam krisis keuangan Global. Mengapa ini penting, karena saat perusahaan keuangan yang besar dihancurkan oleh tindakan dari direktur senior mereka, karyawan akan kehilangan pekerjaan mereka, shareholder  kehilangan investasi dan tabungan mereka. Kredibilitas kapitalisme akan hancur.

Keruntuhan  perusahaan ini sudah dikumpulkan dengan cepat di tahun – tahun terahir, terutama di dunia barat. Dan sudah dikulminasi dalam krisis keuangan global sperti yang kita rasakan sekarang. Mengamati krisis ini terungkap  bahwa sering tampak direktur senior pergi begitu saja dengan tidak ada rasa bersalah dan membawa uang dalam jumlah besar. Sepertinya mereka tidak terpengaruh oleh kehancuran perusahaan yang mereka cipatakan.

Orang – orang itu menampilkan beberapa karakteristik dari psikopat dan beberapa dari mereka benar – benar psikopat. Psikopat adalah 1% dari orang – orang yang tidak memiliki nurani dan empati serta tidak peduli dengan orang lain kecuali dirinya sendiri
           

Psikopat
Psikopat adalah orang yang mungkin disebabkan factor – factor   yang dilakukan dengan ketidaknormalan kontivitas otak dan kimawi yang berdampak pada kurangnya hati nurani, kurangnya emosi dan ketidakmampuan untuk memiliki perasaan, simpati atau empati untuk orang lain. konekstivitas tidak normal otak dan kimiawi dari psikopat ini membuat mereka sangat dingin , jauh lebih perhitungan dan kejam terhadap orang lain daripada orang pada umumnya. Itu merupakan ancaman bagi perusahaan tempat mereka bekerja serta masyarakat.

Psikopat perusahaan
Konsep dari psikopat perusahaan adalah penggabungan antara istilah psikopat dalam psikologi dan perusahaan dalam bidang bisnis yang menunjuk seorang psikopat yagng bekerja dan beroperasi di wilayah organisasi. mereka biasa dipanggil eksekutif psikopat, industry psikopat , organisasi psikopat dan organisasi sosiopat oleh para peneliti. Mereka kejam dalam memanipulasi orang lain, tanpa hati nurani untuk tujuan dan sasaran mereka sendiri

Meskipun mereka terlihat lebih halus,menawan,canggih dan sukses. Psikopat secara teoritis hampir sepenuhnya merusak organisasi tempet mereka bekeja.  Para peneliti mengabarkan bahwa para pemimpin yang berhati kejam tanpa perasaan mengabaikan kebutuhan dan  harapan orang lain. siap untuk berbohong, menggertak , menipu, mengabaikan atau menyebabkan  kerugian bagi kesejahteraan orang lain.

Teori
Professor Robert Hare, seorang ahli tentang psikopat. Mengatakan bahwa ia tidak mencari psikopat di dalam penjara, melainkan di dalam bursa saham.
Psikolog berargumentasi bahwa psikopat perusahaan dalam organisasi dapat dipilih dengan promosi cepat karena polesan ,pesona dan ketegasan mereka. Psikopat perusahaan dalam perusahaan modern dalam hipotesis para komentator, mereka lebih mungkin ditemukan dibagian atas struktur organisasi.
Psikopat perusahaan ini adalah individu yang mempesona. Dimana telah mampu masuk kedalam perusahaan modern serta organisasi yang lain dan berkembang dengan cepat relative tidak disadari didalam diri mereka karena sifat semrawut dari perusahaan modern. Sifat perusahaan ini ditandai dengan cepatperubahan pembaharuan, konstan dan cukup pergantian cepat. Perubahan kondisi ini membuat psikopat perusahaan sulit dilacak karena pergerakan yang konstan membuat perilaku meraka tidak terlihat dan dikombinasikan oleh karisma individu yang tertutup. Ini membuat mereka tampil normal dan ideal untuk menjadi pemimpin.

Pengetahuan bahwa psikopat perusahaan dapat ditemukan di bagian atas organisasi dan tampaknya menikmati bekerja dengan uangorang lain dalam perusahaan keuangan yang besar telah berbelok , menyebabkan pengembangan teori dari psikopat organisasi dari krisis keuangan global. Psikopat perusahaan mampu mempengaruhi iklim moral dari seluruh organisasi dan menghasilkan tenaga yang cukup besar, sebagian besar menyebabkan krisis. psikopat perusahaan hanya berpikir untuk mengejar tujuan dan keuntungan mereka sendiri. Dalam lingkungan yang stabil, perlahan-lahan berubah karyawan akan saling mengenal satu sama lain dengan sangat baik dan Psikopat Perusahaan akan terlihat dan diidentifikasi sebagai manajer yang tidak diinginkan karena mereka egois, dalam egois kepribadian dan cacat etika.

Tahun 2005, penulis meramalkan bahwa psikopat perusahaan adalah resep yang membawa bencana bagi social dan perusahaan. Bencana itu kini terjadi dan masih terjadi. Diseluruh dunia barat gejala krisis keuangan sekarang sedang diobati. Jika teori psikopat perusahaan dari krisis keuangan global benar, maka pengobatan dari gejala akan berpengaruh sedikit.karena akar permasalahannya tidak ditangani. Para psikopat yang meyebabkan krisis akibat mencari keuntungan sendiri dari keserakahan mereka. Dan sekarang mereka menyarankan pemerintah untuk keluar dari krisis.jika teori psikopat perusahaan benar maka kita sekarang jauh dari akhir krisis. Dunia membutuhkan pemimin perusahan dengan hati nurani. Perlu ada langkah – langkah untuk mengidentifikasi psikopat perusahaan, mungkin sekarang saat yang tepat untuk menggunakannya.

Kesimpulan
Ketika diajukan ke manajemen akademisi dalam diskusinya, teori psikopat perusahaan diterima masuk akal dan sangat relevan. Ini memberikan teori yang menyatukan banyak interpretasi individu untuk krisis keuangan Global dan untuk  pengembangan lebih lanjut. Pesan bahwa psikopay yang ditemukan dalam perusahaan dan organisasi lain mungkin penting untuk masa depan kapitalisme dan untuk perusahaan serta keadilan sosial bahkan stabilitas dunia keuangan. Berasal dari keyakinan ini pesan mengenai psychopaths di perusahaan-perusahaan penting, tujuan dari makalah untuk mendapatkan pekerjaan yang psikolog telah lakukan pada psikopati, “psikopat yang sukses” dan psikopat perusahaan khususnya lebih dikenal luas untuk manajemen peneliti dan manajemen itu sendiri.
Read More ..

Sabtu, 03 Desember 2011

Konsep Belajar Cepat dan Menyenangkan

Istilah MASTER di sini adalah singkatan dari Motivating your mind, Acquiring the information, Searching out the meaning, Triggering the memory, Exhibiting what you know, dan Reflecting what you've learned.
Quote:
Quote:
Motivating Your Mind
(Memotivasi Pikiran)
Quote:
Langkah pertama dalam belajar cepat adalah motivasi. Ini penting sekali. Berapa banyak orang yang berusaha untuk belajar tanpa motivasi? Mereka menganggap belajar sebagai suatu bentuk "penderitaan". Dengan sikap seperti ini bisa dibilang secara bawah sadar otak akan menolak informasi yang masuk karena dianggap negatif!
Jelas saja kita jadi sangat sulit belajar. Bandingkan dengan orang yang termotivasi, yang menganggap belajar itu seru dan mengasyikkan. Secara bawah sadar otak akan dengan senang hati mempersilakan informasi untuk masuk.

Apa agan org yg susah memotivasi diri untuk belajar?
Perbaiki niat dan tujuan agan dalam belajar,dan paksakan diri agan untuk kebaikan agan.
Quote:
Quote:
Acquiring the Information
(Memperoleh Informasi)
Quote:
Ada tiga gaya belajar utama, yaitu visual (melalui penglihatan),auditori (melalui pendengaran), dan kinestetik (melalui tindakan).Kita akan lebih cepat menangkap informasi kalau kita belajar sesuai dengan gaya belajar kita. Oleh karenanya kita perlu mengenali gaya belajar yang cocok untuk kita lalu mempraktekkannya. Hasilnya kita akan lebih cepat menangkap informasi.

Yang mana tipe belajar agan? Kenali dan dalami.
Quote:
Quote:
Searching Out the Meaning
(Menyelidiki Makna)
Quote:
Sekedar membiarkan informasi masuk sama sekali tidak cukup. Kita harus berusaha untuk mendapatkan makna dari informasi itu. Ini sama seperti mencerna informasi yang masuk sampai memahami hakikatnya luar dalam. Jadi bukan hanya menghafalkan fakta, tapi terus maju sampai memahami konteksnya dan penerapannya untuk hal-hal lain. Berapa banyak orang yang hanya berusaha menghafal fakta tanpa memahami maknanya ?

Bener kan gan? Masih menghapal dari pada memaknai?
Quote:
Quote:
Triggering the Memory
(Memicu Memori)
Quote:
Memahami makna merupakan hal yang sangat penting, tapi kita juga harus mampu mengingat fakta. Banyak orang yang punya daya ingat luar biasa. Contohnya ada orang Jepang yang menghafalkan angka pi sampai ribuan angka di belakang koma ! Ck…ck… (biasanya kita hanya hafal dua angka yaitu "14″ dari "3.14″). Ada banyak teknik yang bisa memudahkan kita mengingat fakta. Singkatan seperti "MASTER" merupakan salah satunya. Akan jauh lebih mudah untuk mengingat enam langkah Accelerated Learning kalau kita memakai singkatan "MASTER".

Asah kemampuan otak agan dengan hal-hal sederhana. Bisa dengan mengisi TTS,atau sekedar menghapal nomor kontak teman.
Quote:
Quote:
Exhibiting What You Know
(Memamerkan Apa yang Agan Ketahui)
Quote:
Memamerkan di sini bukan berarti sok tahu. Yang dimaksud adalah kita harus berusaha membagikan ilmu kita ke orang lain. Saat membagikan ilmu ke orang lain kita justru akan mendapatkan lebih banyak lagi! Misalnya seorang guru kadang lebih cepat paham dan menguasai materi pelajarannya tentang materi pelajarannya setelah dia mengajarkannya pada murid-muridnya.

Pernah mencoba? Ajarkan ilmu yg agan dapat,niscaya agan akan terus mengingat ilmu itu.
Quote:
Quote:
Reflecting What You've Learned
(Merefleksikan Bagaimana Agan Belajar)
Quote:
Nah, inilah langkah terakhir dalam konsep MASTER. Kita mesti mengevaluasi cara belajar kita. Mengapa? Sebab setiap orang punya cara belajar yang unik yang berbeda dengan orang lain. Kita mesti mengembangkan gaya belajar pribadi yang paling cocok dengan kita. Dan ini tentu tidak bisa dicapai dalam waktu semalam. Kita harus mencoba, mengevaluasi, memperbaiki apa yang kurang, lalu mencoba lagi, dan seterusnya.

Dengan terus mengevaluasi perlahan-lahan gaya belajar kita akan semakin tajam dan cocok dengan kita.
 
 
http://efixyuliani.wordpress.com/2009/07/22/konsep-belajar-cepat-dan-menyenangkan/
Read More ..